REVITALISASI ANGKUTAN UMUM MELALUI PENERAPAN KEBIJAKAN MANAJEMEN PERMINTAAN TRANSPORTASI GUNA PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN INDONESIA YANG LEBIH BAIK


Latar Belakang

Dewasa ini, isu lingkungan seringkali diperbincangkan oleh berbagai kalangan karena semakin banyaknya permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan. Berangkat dari permasalahan tersebut, negara-negara di dunia pun telah berkomitmen untuk turut serta dalam menjamin kelestarian lingkungan dimana salah satu bentuk komitmen tersebut dideklarasikan dalam suatu kesepakatan global yang disebut dengan Deklarasi Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs). MDGs ini menghasilkan delapan sasaran pembangunan milenium yang menjadi salah satu acuan penting dalam pembangunan Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2015.

Berdasarkan laporan pencapaian MDGS di Indonesia tahun 2010,  terdapat tiga poin rangkuman pencapaian MDGS yang terdiri atas: a) telah tercapai, b) telah mengalami kemajuan bermakna, c) masih perlu upaya dan kerja keras. Dari delapan sasaran MDGs tersebut, sasaran ketujuh berupa menjamin kelestarian lingkungan hidup termasuk salah satu sasaran yang masih membutuhkan upaya dan kerja keras.

Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan hidup yaitu pemanasan global yang ditimbulkan dari efek rumah kaca. Menurut laporan pencapaian MDGs tahun 2010, Indonesia memiliki tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi. Pembakaran bahan bakar minyak merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca (Soedomo, 1999). Dari pembakaran bahan bakar tersebut, sektor transportasi menempati posisi kedua setelah sektor panas dan listrik dalam memberikan kontribusi terhadap emisi gas rumah kaca dengan persentase sebesar 20% (Koch, 2000).

Lebih lanjut, berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2011, sektor transportasi di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan dimana jumlah kendaraan pertahun meningkat sekitar 14%. Pertumbuhan sektor transportasi di Indonesia ini ternyata berdampak pada permasalahan lingkungan berupa kemacetan lalu lintas serta penurunan kualitas udara yang disebabkan karena emisi gas rumah kaca seperti gas CO2 (karbondioksida) dan CH4 (methana) dari kendaraan bermotor.

Di beberapa kota di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, pemakaian kendaraan pribadi bermotor sebagai sarana transportasi semakin berkembang dan dapat menjadi faktor yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas serta penurunan kualitas udara. Kebijakan manajemen permintaan transportasi (TDM) yang fokus pada upaya menekan pertumbuhan kepemilikan  kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan angkutan umum massal dinilai layak untuk diterapkan. Penerapan kebijakan tersebut diharapkan dapat menjadi strategi untuk mengendalikan permasalahan lingkungan perkotaan yang bersumber dari sektor tranportasi.

Data dan Fakta terkait Sektor Transportasi di Indonesia

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia yang bersumber dari Kantor Kepolisian Republik Indonesia, kendaraan bermotor menurut jenisnya mengalami pertambahan jumlah yang cukup berarti dari tahun 1987 sampai tahun 2010. Pada tahun 1987, terdapat sebesar 1.170.103 mobil penumpang, 303.378 bis, 953.694 truk, dan 5.554.305 sepeda motor. Di tahun-tahun selanjutnya, jumlah kendaraan bermotor tersebut semakin bertambah hingga pada tahun 2010 terdapat sebesar 8.891.041 mobil penumpang, 2.250.109 bis, 4.687.789 truk, dan 61.078.188 sepeda motor. Sebagai gambaran, berikut disajikan grafik perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia selama lima tahun terakhir.

Image

              Gambar1. Grafik Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis, 2000-2006

Sumber: Data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa jumlah kendaraan bermotor secara keseluruhan terus meningkat setiap tahunnya. Diantara semua jenis kendaraan bermotor tersebut, sepeda motor merupakan kendaraan yang mengalami perkembangan tertinggi di Indonesia. Tingginya jumlah kendaraan bermotor tersebut mengakibatkan semakin meningkatnya pemakaian bahan bakar minyak yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Disisi lain, pertambahan jumlah kendaraan bermotor tersebut juga menyebabkan masalah kemacetan, pencemaran yang diakibatkan oleh pengeluaran emisi pencemar ke udara dari bahan, dan peningkatan suhu yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca dari kendaraan bermotor.

Menurut Laporan IPCC tahun 2006, gas CO2 dan CH4 merupakan gas-gas utama yang dikategorikan sebagai gas rumah kaca dan mempunyai potensi menyebabkan pemanasan global. Selain itu, mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Kementerian Sumber Daya dan Energi (2005) dalam Kementerian Lingkungan Hidup (2005), CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan energi mendominasi sekitar 99% emisi gas rumah kaca, sedangkan sisanya sekitar 1% dihasilkan oleh CH4 dan N2O.  Dengan demikian, dapat diartikan bahwa emisi gas rumah kaca di Indonesia didominasi oleh gas CO2.

Selanjutnya, berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2009, sektor transportasi merupakan pengguna energi terbesar ketiga setelah sektor rumah tangga dan industri. Data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukan bahwa total konsumsi energi di sektor transportasi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, konsumsi energi untuk transportasi sebesar 140 juta sbm, kemudian pada tahun 2007 meningkat menjadi 179 juta sbm. Namun demikian, dibandingkan dengan tahun 2005, konsumsi energi sektor transportasi menurun sebesar 4 persen pada tahun 2006. Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun tersebut. Adapun secara nasional, emisi gas CO2 yang dihasilkan dari sektor transportasi juga meningkat yaitu pada tahun 2000 sebesar 58 juta ton kemudian menjadi 73 juta ton pada tahun 2007. Sebagai gambaran lebih lanjut, berikut grafik perkiraan emisi CO2 dari sektor transportasi dari tahun 2000 hingga 2007.

Image

Gambar 2. Grafik Perkiraan Emisi CO2 dari Sektor Transportasi di Indonesia,  2000-  2007

Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, 2009

Pengendalian Permasalahan

Seperti yang telah dijelaskan sebelum

sebelumnya, bahwa peningkatan kendaraan bermotor di  Indonesia selama beberapa tahun terakhir mendatangkan berbagai permasalahan seperti kemacetan lalu lintas, pencemaran udara, ataupun peningkatan suhu akibat emisi gas yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Pengendalian permasalahan pencemaran udara misalnya, dapat dilakukan dengan menerapkan dua pendekatan strategis yang terdiri atas: 1) penurunan laju emisi pencemar dari setiap kendaraan untuk setiap kilometer jalan yang ditempuh, atau, 2) penurunan jumlah dan kerapatan total kendaraan di dalam suatu daerah tertentu.

Selain itu, untuk menanggulangi dampak lain yang ditimbulkan, dapat digunakan suatu perencanaan sistem transportasi. Pemilihan model sistem transportasi yang hendak direncanakan pada dasarnya dilakukan dengan mempertimbangkan salah satu kriteria pokok, yaitu pemindahan barang dan manusia dilakukan dalam jumlah terbesar dan jarak yang terkecil.  Hal ini dapat diterapkan dengan lebih berorientasi pada penggunaan transportasi massal dibandingkan dengan penggunaan transportasi individual.

Revitalisasi Angkutan Umum melalui Implementasi Kebijakan Manajemen Permintaan Tranportasi (TDM)

Permasalahan berupa kemacetan, polusi, peningkatan emisi gas rumah kaca, ataupun pemborosan yang dikarenakan oleh inefisiensi pemakaian bahan bakar akibat peningkatan kendaraan bermotor ini lebih lanjut dapat diselesaikan dengan menerapkan kebijakan Manajemen Permintaan Transportasi atau Transportation Demand Management (TDM). Adapun kunci dari implementasi TDM ini yaitu adanya keseimbangan antara efek “push” yang menekan pertumbuhan penggunaan dan kepemilikan kendaraan pribadi dengan efek “pull” yang mendorong penggunaan angkutan umum massal. Bila kebijakan TDM ini nantinya mampu diterapkan secara optimal, maka diharapkan potensi lokal yang ada di Indonesia berupa kendaraan umum seperti angkutan kota, metromini, bus, ataupun kereta api dapat berkembang baik dan menjadi sarana transportasi darat yang menjadi pilihan utama bagi masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Pemerintah diharuskan untuk memenuhi kebutuhan perjalanan penduduk dengan mengadakan angkutan massal sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 158 ayat 1 yang berbunyi “Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum di kawasan perkotaan”.Adapun angkutan massal merupakan angkutan umum yang diharapkan menjadi tulang punggung transportasi perkotaan untuk memecahkan masalah kemacetan, keselamatan, dan polusi (GTZ-SUTIP, Paper Standar Pelayanan Minimum Angkutan Umum, 2010). Angkutan umum di Indonesia dapat dikembangkan dengan menerapkan kebijakan TDM. Hal ini disebabkkan karena TDM memiliki prinsip yaitu memindahkan penggunaan kendaraan pribadi menjadi penggunaan angkutan umum untuk mengatasi permasalahan akibat kepadatan kendaraan bermotor.

Pengembangan angkutan umum di Indonesia melalui penerapan kebijakan TDM memerlukan stategi berupa kebijakan-kebijakan. Beberapa kebijakan tersebut antara lain adalah kebijakan push dan pull, transportasi terpadu dan tata guna lahan, peningkatan pelayanan transportasi umum, serta manajemen parkir.

1. Push dan Pull

Strategi ini bertujuan untuk mencapai efektifitas dan manfaat yang maksimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, hal ini dilakukan dengan cara menyeimbangkan efek push dan pull. Implementasi dari kebijakan ini yaitu pada efek push dilakukan melalui pengurangan mobilitas kendaraan pribadi dengan cara mengurangi ketersediaan ruang parkir, mengatur biaya parkir, ataupun memperbaiki fasilitas untuk pejalan kaki yang kemudian diseimbangkan pada efek pull melalui perbaikan kualitas pelayanan angkutan umum, perbaikan sarana dan prasarana angkutan umum dengan cara melakukan perbaikan bus, angkutan umum, ataupun pengadaan halte dan terminal yang nyaman, perbaikan prasarana sepeda dengan menyediakan jalur khusus untuk pengguna sepeda, serta perbaikan alternatif mobilitas seperti dengan perbaikan pelayanan taksi, bajaj, dan becak.

2. Transportasi Terpadu dan Tata Guna Lahan

Transportasi dan tata guna lahan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perwujudan kegiatan transportasi dalam bentuk lalu lintas kendaraan pada dasarnya merupakan kegiatan yang menghubungkan dua lokasi dari tata guna lahan yang sama atau berbeda. Lebih lanjut, tujuan penting dari perencanaan tata guna lahan dan perencanaan transportasi yaitu untuk mewujudkan keseimbangan yang efisien antara potensi tata guna lahan dan kemampuan transportasi. Selain itu, keberagaman faktor dalam tata guna lahan berpengaruh terhadap perilaku pelaku perjalanan. Hal ini ditunjukkan misalnya pada masyarakat yang tinggal atau bekerja di daerah padat, dengan berbagai macam aktivitas dan mobilitas, maka mereka akan cenderung tidak menggunakan kendaraan pribadi dan lebih mengandalkan angkutan umum. Oleh karena itu, untuk strategi aplikasi TDM, diperlukan suatu pengembangan kebijakan yang cerdas yang lebih dapat mengefektifkan akses perjalanan.

3. Peningkatan Pelayanan Transportasi Umum

Salah satu ukuran dari TDM adalah sistem pelayanan transportasi umum yang terpadu. Sistem ini tidak memerlukan investasi modal yang besar, tetapi lebih memerlukan perencanaan dan komunikasi antar operator yang lebih baik. Dalam memprioritaskan angkutan umum melalui sistem pelayanan yang terpadu, terdapat dua ketentuan agar pelayanan transportasi umum tersebut lebih memadai yang antara lain terdiri atas: a) perbaikan operasi pelayanan, frekuensi, kecepatan, dan kenyamanan; b) perbaikan sarana penunjang jalan.

4. Manajemen Parkir

Adanya pengelolaan parkir yang tidak baik seperti dengan menggunakan badan jalan raya sebagai tempat parkir cenderung merupakan penyebab kemacetan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu manajemen parkir seperti yang terdapat dalam kebijakan TDM. Kebijakan manajemen parkir dimaksud untuk mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi menjadi penggunaan kendaraan umum sehingga dapat mengurangi tingkat kemacetan. Pada kebijakan ini, suatu tempat parkir harus disediakan dengan syarat bahwa area tersebut tidak mengganggu kepentingan jalur transportasi yang lain, baik itu dalam bentuk suatu area atau penggunaan bahu jalan sebagai tempat parkir.

Selanjutnya, kebijakan ini mengharuskan agar kota meminimalkan pemakaian ruang publik untuk digunakan sebagai lahan parkir, seperti menggunakan area umum berupa jalan dan trotoar sebagai tempat parkir, sebaliknya harus menciptakan suatu area khusus untuk parkir, tetapi dalam pemakaiannya perlu dibebankan tarif terhadap pengguna. Selain itu, aplikasi dari kebijakan ini juga dapat dilakukan misalnya dengan membatasi ketersediaan lahan sebagai tempat parkir sehingga dapat mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi. Adapun harapan yang ingin dicapai dari penerapan kebijakan manajemen parkir ini beberapa diantaranya adalah: a) terciptanya keseimbangan antara pemenuhuan besar kebutuhan parkir dengan kebijakan parkir itu sendiri  dimana hal ini mencakup ketersediaan lahan parkir beserta tarif yang dibebankan sehingga pada akhirnya dapat membatasi jumlah perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi; b) terciptanya kesinambungan antara kebijakan parkir dalam hal penekanan penggunaan kendaraan pribadi dengan target anggaran atau retribusi yang dihasilkan; dan c) berkurangnya pelaksanaan parkir di pinggir atau di badan jalan sehingga dapat mengurangi kemacetan dan dapat meningkatkan efektifitas serta nilai utilitas dari jalan.

Pengalaman Implementasi Kebijakan TDM di Indonesia

Bila ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya Indonesia telah melakukan penerapan TDM, namun masih belum seimbang. Indonesia masih menekankan pada efek pull dan masih sangat minim dalam memberikan tekanan pada efek push.  Sebagian upaya pull yang telah dilakukan misalnya seperti pengembangan jalur khusus bus atau Bus Rapid Transit (BRT) di Jakarta, sistem transit di 13 kota, pengembangan lajur sepeda, perbaikan fasilitas pejalan kaki, bus sekolah, bus jemputan karyawan, taksi, dan angkutan umum. Adapun upaya push masih terbatas pada “3 in 1” di Jakarta, manajemen parkir yang masih parsial, dan car free day di beberapa kota. Akibat dari ketidakseimbangan tersebut, maka peran TDM belum mampu menjadi solusi masalah kemacetan di Indonesia.

Langkah Ideal Implementasi Kebijakan TDM di Indonesia

            Kebijakan TDM yang layak diterapkan tidak akan mampu menjadi solusi permasalahan lingkungan perkotaan Indonesia bila belum optimal dilaksanakan. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah ideal dan kongkrit dalam mengaplikasikan kebijakan tersebut. Pada upaya pengurangan jumlah kendaraan bermotor, terdapat berbagai langkah yang dapat dilakukan yang terdiri atas: a) tidak membangun jalan-jalan baru termasuk tidak melakukan pelebaran jalan, b) menyediakan jalur khusus untuk kendaraan umum dan sepeda secara maksimal, c) mengenakan biaya tol jalan yang lebih tinggi pada jam-jam sibuk atau waktu kondisi terjadi kepadatan lalu lintas, d) menghapus atau mengurangi biaya tol jalan untuk kendaraan umum yang menggunakan prasarana jalan tol, e) melarang kendaraan bermotor pada beberapa jalan tertentu, f) meniadakan beberapa tempat parkir di pusat kota.

Langkah-langkah di atas bertujuan untuk mendorong masyarakat untuk lebih menggunakan kendaraan umum. Oleh karena itu, pada segi angkutan umumnya sendiri, diperlukan suatu perbaikan dan peningkatan secara menyeluruh. Pada segi kualitas, dapat dilakukan dengan cara mengubah mesin kendaraan bermotor pada angkutan umum agar gas buang yang dihasilkan lebih sedikit sehingga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca ataupun gas pencemar udara. Hal ini dapat dilakukan dengan cara yang terdiri atas: a) mengubah mesin pembakar dalam (internal combustion engine) sehingga penggunaan bahan bakarnya berkurang dan polusi yang dihasilkan lebih sedikit, b) memakai mesin yang lebih efisien tenaganya sehingga polusi yang dihasilkan lebih sedikit, c) mengurangi berat kendaraan dengan memakai lebih banyak bahan plasitik dan logam ringan untuk badan kendaraan.

Adapun pada segi pelayanan angkutan umum, perbaikan dan peningkatannya dapat dilakukan berdasarkan kemampuan angkut yang besar, kecepatan yang tinggi, keamanan dan kenyamanan yang memadai, serta dengan biaya perjalanan yang terjangkau dimana tarifnya sesuai dengan daya beli masyarakat. Hal yang terpenting dalam pengembangan angkutan umum dari segi pelayanan yaitu kelancaran perjalanan dan frekuensi kedatangan kendaraan yang sesuai, teratur, dan tepat waktu.

Pada pengembangan angkutan umum melalui manajemen parkir, terdapat langkah-langkah yang dilakukan baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Untuk jangka panjang, hal-hal yang dilakukan yaitu: a) menekan penggunaan kendaraan pribadi ke tempat kerja pada pelaku perjalanan commuter misalnya diterapkan dengan cara kebijakan melarang penggunaan kendaraan bermotor ke tempat kerja pada hari-hari tertentu, b) melarang pemilik kendaraan untuk menggunakan bahu jalan (on street parking) sebagai tempat parkir untuk jangka waktu yang lama, c) pada rute-rute tertentu dan pada waktu-waktu tertentu khususnya pada waktu padat lalu lintas dilakukan pelarangan on street parking, d) membatasi parkir untuk kendaraan besar. Sedangkan untuk jangka panjang, hal-hal yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan kerjasama antara pihak swasta untuk menjalankan usahanya di bawah kebijakan pemerintah untuk menyediakan tempat parkir, memperkirakan kebutuhan kapasitas parkir dan permintaan parkir, serta mengatur organisasi untuk mengontrol area parkir dengan kebijakan yang jelas.

Lebih lanjut, yang juga harus menjadi perhatian dalam hal revitalisasi angkutan umum ini adalah masalah para pejalan kaki. Sering terlihat keadaan dimana trotoar beralih fungi menjadi tempat kegiatan lain sehingga para pejalan kaki yang seharusnya menggunakan trotoar terpaksa harus menggunakan badan jalan. Sebenarnya, bila ingin menarik masyarakat untuk mau menggunakan angkutan umum, maka langkah utama yang perlu dilakukan adalah memberikan kemudahan bagi pejalan kaki. Hal ini disebabkan karena perjalanan dengan menggunakan angkutan umum biasanya selalu diawali dan diakhiri dengan berjalan kaki. Dengan demikian, diperlukan penyediaan fasilitas yang baik yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan untuk pejalan kaki.

            Implementasi kebijakan TDM ini selanjutnya memerlukan kerjasama dan sinergisitas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Untuk itu, berbagai langkah aksi yang dapat dilakukan demi optimalisasi pelaksanan kebijakan TDM ini antara lain: a) Kementerian Perhubungan melakukan penyusunan Peraturan Menteri (Permen) tentang Pedoman TDM dan Petunjuk Penyelenggaraan TDM untuk Perkotaan di Indonesia, b) Pemerintah Daerah menetapkan draft kebijakan perkotaan yang berisi strategi khusus bagi setiap kota-kota sesuai dengan Permen yang disusun pemerintah pusat, c) Kementerian Perhubungan melakukan pembinaan secara efektif dan terarah kepada pemerintah daerah, d) Kementerian Perhubungan dan Kementerian Keuangan menyusun upaya kebijakan ataupun regulasi agar kota-kota dapat dengan mudah mengakses TDM, e) Kementerian Perhubungan memfasilitasi daerah dengan cara memberi dukungan subsidi bagi pembangunan fasilitas TDM yang berguna untuk meningkatkan pengalihan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum, f) Kementerian Perhubungan memberikan reward bagi daerah yang berhasil menurunkan tingkat ketergantungan terhadap sistem transportasi kendaraan pribadinya ataupun mampu mengurangi konsumsi bahan bakar serta mengurangi tingkat emisi kendaraan.

Selanjutnya, dalam menerapkan berbagai langkah-langkah di atas perlu diperhatikan bahwa terdapat keterkaitan antara perencanaan kota dengan  perencanaan transportasi khususnya transportasi umum. Perencanaan kota  bertujuan untuk mempersiapkan kota menghadapi perkembangan dan mencegah timbulnya berbagai persoalan agar kota menjadi suatu tempat kehidupan yang layak. Adapun perencanaan transportasi mempunyai tujuan untuk mengembangkan sistem transportasi yang memungkinkan orang bergerak dengan aman, murah, cepat, nyaman, dan mencegah terjadinya kemacetan lalu lintas di jalan-jalan dalam kota. Pengembangan sistem transportasi umum yang sudah direncanakan harus disesuaikan dengan tata ruang dan perencanaan kota. Permasalahan lingkungan seperti kemacetan, peningkatan emisi gas rumah kaca, dan pencemaran yang sering terjadi saat ini umumnya timbul karena tidak serasinya program dan perencanaan kota dengan sistem transportasi yang ada.  Dengan demikian, agar sistem transportasi umum yang dikembangkan dapat membawa pengaruh positif, maka diperlukan kesesuaian perencanaan dan pengembangannya dengan perencanaan tata ruang kota. Disamping itu, diperlukan juga suatu perbaikan mendasar pada aspek perencanaan pengembangan sistem transportasi umum secara menyeluruh,  sehingga masalah sporadik yang muncul beserta dampaknya dapat dipecahkan dengan tuntas.

Kesimpulan dan Saran

Permasalahan lingkungan berupa pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi lebih lanjut akan berdampak pada kemacetan lalu lintas, pencemaran udara, dan penurunan kualitas lingkungan khususnya lingkungan perkotaan. Pertumbuhan tranportasi khususnya berupa kendaraan bermotor pribadi yang terus meningkat di Indonesia ternyata memberikan pengaruh terhadap semakin banyaknya emisi gas rumah kaca berupa gas CO2 yang dihasilkan setiap tahunnya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya pengendalian permasalahan lingkungan secara terpadu dan komprehensif. Revitalisasi angkutan umum melalui penerapan kebijakan manajemen permintaan transportasi (TDM) yang lebih memprioritaskan penggunaan angkutan umum dinilai sangat baik untuk diterapkan sebagai jawaban atas berbagai permasalahan lingkungan tersebut.

Agar kebijakan TDM dapat seutuhnya menjadi solusi atas permasalahan lingkungan di Indonesia, maka dalam penerapannya harus dilakukan secara optimal dan berkesinambungan. Konsep efek pull dan push pada kebijakan TDM ini selanjutnya harus dilakukan secara seimbang dimana setiap adanya pelaksaan pada efek pull maka harus diikuti dengan pelaksanaan pada efek push. Selanjutnya, diperlukan penerapan kebijakan TDM dengan langkah-langkah yang konkrit dan ideal agar kebermanfaatan dari implementasi kebijakan TDM ini dapat dirasakan oleh semua masyarakat. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa dalam mengimplementasikan kebijakan ini harus tercipta keserasian antara perencanaan sistem transportasi angkutan umum dengan perencanaan tata ruang kota. Bila keseluruhan hal tersebut mampu diaplikasikan dengan baik, maka diharapkan target MDGs 2015 berupa perbaikan kualitas lingkungan yang masih membutuhkan upaya dan kerja keras ini dapat tercapai di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Anonim. Manajemen Permintaan Transportasi. sutip.mine.nu/…/Indonesian…/7.Manajemen_Permintaan_Transportas…  (Diakses tanggal 16 Mei 2012, 19:00 WIB).

Anonim.2011. Paduan Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). sutip.mine.nu/ENV/…/05-Guideline_RAD_GRK_2011_04_08.pdf  (Diakses tanggal 17 Mei 2012, 08:30 WIB).

Anonim. 2010. Standar Pelayanan Minimum Angkutan Umum. sutip.mine.nu/…/Paper_5-SPM_Sistem_Transit_MNP_Juli2010.pdf(Diakses tanggal 18 Mei 2012, 08:00 WIB).

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2009. Emisi Gas Rumah Kaca dalam Angka. wwwnew.menlh.go.id/Publikasi/Buku/Lain-lain/Emisi_GRK.pdf (Diakses tanggal 17 Mei 2012, 08:15 WIB).

Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. 2009. Statistik Perhubungan. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=17&notab=12 (Diakses tanggal 15 Mei 2012, 9:55 WIB).

Koch,J., U. Dayan, dan Mey Marom. 2000. Inventory of Emission of Greenhouse Gases in Israel. Journal of Water, Air, and Soil Polution, 123(2000) page 259-271.

Kusumawardani, Deni. 2009. Emisi CO2 dari Penggunaan Energi di Indonesia: Perbandingan Antar Sektor. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 8, No. 3, halaman 176-187. 

Nur, Yusratika, Puji Lestari, dan Iga Uttari. 2010. Inventorisasi Emisi Gas Rumah Kaca (CO2 dan CH4) Dari Sektor Transportasi di DKI Jakarta Berdasarkan Konsumsi Bahan Bakar. www.ftsl.itb.ac.id/kk/air…/PI-AP2-Yusratika-Nur-15305026.pdf (Diakses tanggal 15 Mei 2012, 10:00 WIB).

Sardjunani, Nina. 2011. Strategi Mempercepat Pencapaian Target MDGs. www.aidsindonesia.or.id/…/Rakergub_310111_Bappenas_Strategi.pd… (Diakses tanggal 14 Mei 2012, 22:00 WIB).

Soedomo, Moestikahadi. 2001. Pencemaran Udara. Bandung: Penerbit ITB.

Sukarto, Haryono. 2009. Transportasi Perkotaan dan Lingkungan.  skripsi.umm.ac.id/…/jiptummpp-gdl-jou-2009-haryonosuk-16517-Tr… (Diakses tanggal 18 Mei 2012, 09:00 WIB).

Susanti, Viva, dkk. 2011. Kebijakan Nasional Program Konversi dari BBM ke BBG untuk Kendaraan. Jakarta: LIPI Press.

Tamin, Ofyar Z. 1997. Upaya-Upaya untuk Mengatasi Masalah Transportasi Perkotaan. isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/94973344.pdf(Diakses tanggal 18 Mei 2012, 10:00 WIB).

Trismidianto. Studi Penentuan Konsentrasi CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK) Lainnya di Wilayah Indonesia. www.dirgantara-lapan.or.id/…/…(Diakes tanggal 17 Mei 2012, 08:00 WIB).